Hutang Peradaban

Hikmah:  Meneguhkan Kecintaan Kepada Nabi Muhammad SAW
Artikel

Abdul Mutaqin

Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok Barat

 

Ngaji “Was-was”

Hari ini, pada pengajian bulanan Aisyiyah dan Muhammadiyah Cabang Depok Barat, kekhawatiran ini akhirnya saya sampaikan. Bukan bermaksud berbagi khawatir, melainkan mengajak saling mengingatkan bahwa ada ancaman atas maraknya LGBT di Depok yang mengintai generasi kita.  

Boleh jadi, ada beberapa dari warga Persyarikatan di Depok Barat yang tersentak. Atau, menganga mulutnya tidak percaya bahwa ada komunitas di Facebook kumpulan para gay di sekitar mereka. Nama akunnya “gay Depok”. Anggotanya menyentuh angka tiga ribuan lebih. Ini baru di akun Facebook, belum di platform media sosial yang lain.

“gay Depok” dibuat pada 23 Januari 2021, di-setting sebagai grup Public sehingga bisa diakses siapa saja yang memiliki akun Jejaring Sosial yang dibangun Mark Zuckerberg pada 2004 silam. Karena bersifat Public, dengan leluasa saya bisa menyelisik siapa pembuat dan admin grup ini.

Dada terasa bergemuruh membaca beberapa postingan anggota grup atau gambar yang di-upload di wall. Beberapa pesan atau gambar terbaca sangat vulgar dan menjijikkan. Hati saya bertanya, apa sudah sedemikian daruratnya LGBT di Depok. Boleh jadi benar berita yang dirilis megapolitan.okezone.com pada Rabu 12 Desember 2018 silam, bahwa “Wilayah Depok jadi “Surga” Kaum LGBT”.

Mereka Begitu Dekat

Pembaca, ada sedih, kecewa, marah, was-was dan takut sambil menguatkan hati membaca beberapa postingan di sana. Campur aduk perasaan ini bertambah berat tiap kali menemukan pesan dari anggota yang terang-terangan menyebut di mana mereka tinggal. Bagaimana hati tidak was-was, sebab tempat tinggal mereka hanya “selangkah” saja dari pintu rumah kita semua. 

Warga Persyarikatan di Depok Barat mestinya juga was-was. Bagaimana tidak was-was? Rawadenok, Pulo, Parung Bingung, Jemblongan, Cipayung, Cipayung Jaya, dan Pondok Terong seperti dikepung para gay. Domisili mereka tinggal ada di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan Muhammadiyah Depok Barat. 

Astaghfirullah, ini amit-amit. Bila saja salah seorang dari anggota gay yang mengaku berdomisili dari hampir seluruh wilayah Depok itu –bagian Barat, Timur, Tengah, Utara, dan Selatan– ada yang berteman dengan anak-anak kita, generasi warga Persyarikatan. Pegimana kita kudunyah?  

Kampung Pulo –tempat lahir beta– tidak disebut-sebut para gay. Tidak ada seorang anggota pun menulis mengaku dari kampung ini. Akan tetapi, bukan berarti saya menjadi tenang. Tidak. Sekali-kali tidak.

Belum tentu tidak ada makhluk gay di Pulo hanya karena tidak ada yang mengaku di grup itu. Mudah-mudahan memang beneran tidak ada. Boleh jadi ada, sih. Hanya saja mereka memilih tiarap atau silent members, atau membangun komunikasi lewat inbok atau private message sesama anggota hingga tidak terlacak orang lain meskipun sesama anggota komunitas. 

Tanggung Jawab Ideologis dan Peradaban

Was-was saya bukan karena memikirkan anak-anak biologis yang harus saya lindungi, melainkan juga anak-anak ideologis warga Muhammadiyah di Depok umumnya, dan Depok Barat khususnya sebagai bagian dari tanggung jawab anggota Pimpinan Persyarikatan. Di semua level, Pimpinan Persyarikatan punya tanggung jawab ganda; menjaga anak-anak sendiri dan menjaga anak-anak Persyarikatan dari bahaya rusaknya aktivitas dan orientasi seksual kaum pelangi ini. Inilah tanggung jawab ideologis, sekaligus tanggung jawab peradaban yang harus ditunaikan Muhammadiyah.

Sosiolog dan pemikir asal Maroko, Dr. Mehdi El Manjra (1933-2014) ada mengutip pendapat orientalis. Bolehlah saya singgung di sini karena cukup relevan, yakni soal jalan rusaknya peradaban. 

Kata Mehdi: ”Idza aradta an tahdim hadaarat, fa hunaaka tsalaatsu wasaail; hadmi al-usrah, hadmi al-ta’lim, isqaat al-qudwah.” Bila Anda ingin menghancurkan sebuah peradaban, ada tiga caranya: pertama dengan merusak rumah tangga; kedua dengan merusak pendidikan, dan ketiga dengan merusak panutan.

Merusak rumah tangga dengan cara merusak perempuan. Ini merusak madrasah pertama generasi. Merusak pendidikan dengan cara merusak guru dan muatan pendidikan sekolah. Ini merusak madrasah kedua generasi. Dan merusak panutan dengan siasat menghancurkan reputasi serta kredibilitas para ulama yang sebelumnya menjadi rujukan. Ini merusak madrasah ketiga, rujukan generasi terpelajar. 

Bayangkan, apabila para perempuan sudah rusak, guru dan pendidikan sudah rusak, tidak ada lagi ulama yang nasihatnya patut didengar sebab mereka sendiri sudah rusak, maka rusaklah tiga madrasah generasi. Lalu, kepada siapa generasi ini akan dibina dan dititipkan?

Apabila tiga kerusakan di atas sudah menepi di pelupuk mata, generasi akan terlantar dan mudah diseret ke dalam kubangan perilaku buruk. Maka, hancurnya peradaban umat ini hanya soal waktu saja. Bila ini terjadi, maka ia akan menjadi hutang peradaban  yang akan sulit dilunasi.

Rumah Tangga Kader

Pesan strategis kader dari Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed., Sekretaris Umum PP Muhammadiyah saya untai untuk mengikat pesan soal tanggung jawab biologis dan ideologis warga Persyarikatan di akhir pengajian tadi pagi.

Menurut Pak Mu’ti, kebutuhan regenerasi kepemimpinan di Muhammadiyah mensyaratkan tiga jenis kader. Pertama, Kader Mujtahid. Kedua, Kader Muballigh. Ketiga, Kader Muttabi’. 

Keluarga menjadi lumbung persemaian bagi Kader Muttabi’. Kader Muttabi’ memang anggota biasa, tetapi punya militansi. Mereka kader yang punya komitmen pada Muhammadiyah meskipun tidak secendekia kader pertama dan kedua.

Problem sosial hari ini amat kompleks, LGBT hanya irisan kecil dari gundukan problem yang bertumpuk. Karena itu, masyarakat Indonesia di mana Muhammadiyah dan Aisyiyah hadir sudah dikategorikan berada pada kondisi darurat; darurat judi online, darurat prostitusi online, darurat narkoba, dan berbagai carut-marut moral yang sukar diurai, termasuk carut marut etika bernegara yang kian menjauh dari peradaban Indonesia emas yang kerap digaungkan politisi. 

Meskipun hanya irisan kecil dari gundukan problem, LGBT sangat mengkhawatirkan. Ia menjadi ancaman masyarakat yang sudah tentu menjadi ancaman bagi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Mau tidak mau, Muhammadiyah dan Aisyiyah harus turun tangan, berpeluh-peluh menyelamatkan kader Persyarikatan dan diharap banyak pihak menjadi penyelamat anak bangsa ini. 

Persyarikatan sudah punya rumusan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang menjadikan keluarga sebagai bagian dari persemaian bibit kader Islami. Sebab, hanya kader Islami saja yang akan mampu bertahan dari gempuran perilaku menyimpang. Maka, ngaji PHIWM menjadi penting diagendakan secara terstruktur, masif, dan berkesinambungan.

Mari jaga generasi kita dari pengaruh kejahatan perilaku menyimpang LGBT dengan menggalakkan kajian untuk mereka. Mereka yang sudah terlanjur, semoga dibukakan hatinya untuk segera bertaubat dan kembali menjadii manusia dengan fitrah yang sehat. Semoga Allah melindungi generasi kita turun temurun.

Depok, 16 Muharam 1446 H