Bermuhammadiyah Sampai ke Metro
Oleh: Abdul Mutaqin
TAHUN 1912, seperti tahun “keramat”. Itu “angka Muhammadiyah”. Sejarah telah memilihnya sebagai penanda ia berdiri, melekat, dan berkohesi dengan ingatan. Pada 18 November 2022, batang usia Persyarikatan ini akan menyentuh bilangan seratus lebih sepuluh tahun, penanda bahwa Muhammadiyah tetap survive meski sudah melintas zaman.
Dahulu, sewaktu mengaji di masjid dan sekolah Diniyyah sore, sedikit sekali peristiwa besar pada 1912 yang diungkap di ruang-ruang kelas. Guru-guru ngaji dan Diniyyah saya amat jarang menyebut peristiwa selain kelahiran Muhammadiyah saja. Bisa jadi, karena Muhammadiyah sangat dicintai dan sudah kadung identik dengan angka 1912.
Padahal, Sarekat Dagang Islam (SDI) bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI), KH. Agus Salim membuka H.I.S (Hollandsche Inlandsche School) partikelir di kota Gedang, atau Indische Partij yang didirikan Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantoro berlangsung pada tahun yang sama.
Bila lensa sejarah diarahkan lebih jauh sampai pada lokus World History and Timelines, pada tahun yang sama Albania menyatakan merdeka dari Turki Utsmani, pemilihan Woodrow Wilson sebagai presiden Amerika, Yoshihito dinobatkan sebagai Kaisar Jepang, Republik Rakyat Cina diproklamirkan mengakhiri riwayat Kekaisaran Cina, kematian Kaisar Meiji, sampai pada penemuan modulasi frekuensi radio semua berlangsung pada 1912.
Dan, andaikata Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet tidak memerankan film karya sutradara James Cameron, bisa jadi banyak warga persyarikatan–termasuk saya– tidak tahu bahwa kapal Titanic tenggelam di perairan Atlantik Utara pada 14 April di tahun yang sama, 1912.|
SAMA halnya dengan Muhammadiyah yang identik dengan Kota Gudeg. Yogyakarta adalah Muhammadiyah, dan Muhammadiyah adalah Yogyakarta. Itu adagiumnya.
Waktu sekolah rendah, mungkin guru-guru Diniyyah saya khilaf. Mereka hanya menyebut Yogyakarta. Wajar saja bila saya dan kebanyakan murid-murid Diniyyah menganggap Muhammadiyah hanya ada di dua tempat: Yogyakarta dan Muhammadiyah di region kampung sendiri waktu itu. Jadi, literasi tentang persebaran Muhammadiyah yang diserap sangat sedikit. Saya tidak sampai berpikir bahwa Muhammadiyah sudah ada di mana-mana. “Lugu” sekali.
Hari ini, bisa jadi masih tersisa generasi Persyarikatan yang masih “lugu” itu. Mereka terhambat bertumbuh meninggi, terbatas bergerak melebar, dan sulit memuai memanjang pada persoalan literasi sejarah Muhammadiyah. Frame berpikir tentang Muhammadiyahnya masih sama sewaktu masih kecil dahulu.
Saya pun belum jauh melangkah belum tinggi mendaki. Wajarlah jika saya tercengang mendengar Muhammadiyah saat ini sudah memiliki 24 Cabang Istimewa (PCIM) di luar negeri, dari Asia, Eropa, Amerika, hingga Afrika. 24 PCIM itu menyebar di Kairo (Mesir), Iran, Khartoum (Sudan), Belanda, Jerman, Inggris, Libya, Malaysia, Perancis, Amerika Serikat, Jepang, Pakistan, Australia, Rusia, Taiwan, Tunisia, Turki, Korea Selatan, Tiongkok, Arab Saudi, India, Maroko, Yordania, dan Yaman. Entah berapa lagi PCIM baru akan menyusul belakangan.|
RIHLAH Dakwah dan Raker ke Metro yang saya ikuti pada Oktober 2022 lalu, gagasan Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok (KMMD) bagi saya pribadi menjadi cara meluaskan wawasan Kemuhammadiyahan. Maka, agenda Raker KMMD yang menempel pada kegiatan ini sebenarnya tidak lebih signifikan muatannya dari ikhtiar meluaskan wawasan itu. Apatah lagi sekadar menikmati Bakso Sonhaji Sony, menyicip manis durian berdaging kuning, dan leyeh-leyeh di pantai Sari Ringgung yang sayang jika dilewatkan. Pastilah para mubaligh Rihlah Dakwah akan semakin tergembirakan bila agenda itu jadi digenapkan.
Rihlah Dakwah ke Metro penting untuk menikmati hasil-hasil daya juang Muhammadiyah dan memuaskan kekaguman kepada para da’i Persyarikatan yang sudah berhasil memperkenalkan Muhammadiyah ke Sumatera pada kisaran 1920-an. Era ini hampir bersamaan dengan masuknya Muhammadiyah di tanah Batavia (Betawi) yang berlangsung pada 1921, lalu tujuh tahun kemudian mendapatkan pengesahan dari Pusat Pimpinan di Yogyakarta. Padahal Batavia masih di tanah Jawa, tempat lahir Muhammadiyah. Sedangkan Sumatera harus menyeberang lautan. Bayangkan!
Di Lampung, khususnya di Metro, Muhammadiyah sudah dirintis pada 1938 bersamaan dengan HIS Muhammadiyah di sana. Barulah pada 1939, Muhammadiyah Cabang Metro resmi berdiri. Mohammad Chajad, Sosro Sudarmo, Abdullah Sajad, dan Ki Mohammad Asrof merupakan sebagian dari tokoh-tokoh perintis Muhammadiyah Cabang Metro saat itu. Adapun Surowinoto, Muhajir, Seno Hadipuspito, dan D. Subari tercatat sebagai guru-guru perintis HIS Muhammadiyah Metro.|
ADA catatan menarik Kuswono, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro tentang geliat Muhammadiyah di Lampung pada 1939. Catatan Kuswono bersumber dari Mailrapport Politieke Verslager Lamongsche Districten (Laporan Surat Wartawan Politik Distrik Lamongsche) yang tersimpan rapi pada Arsip Nasional Indonesia (ANRI).
Dalam laporan itu, Pemerintah Hindia Belanda mengontrol kegiatan-kegiatan perkumpulan kaum intelektual pribumi, termasuk Muhammadiyah. G.W. Meindersma, pejabat Keresidenan Lampung dan H.E.J. Oosterwijk, kepala Dinas Intelejen Politik (Politieke Inlichtingen Dienst) sebagai pejabat pemerintah memiliki kepentingan mencatat semua kegiatan yang dianggap berpotensi mengumpulkan massa dan mengganggu kepentingan pemerintah kolonial.
Misalnya, pada Oktober 1939, pertemuan antar anggota Muhammadiyah yang digagas oleh Cabang Muhammadiyah di Telokbetong dan Gedong Tataan tidak luput dari pantauan pemerintah. Apalagi, pertemuan terbuka pada malam tanggal 30-1 Oktober 1939 itu dihadiri kurang lebih seribuan peserta laki-laki dan 400-an perempuan serta anak-anak.
Hasan Adnan, seorang pembicara mengangkat tema “Kewadjiban Ummat Islam terhadap Anak Jatim dan Persatoean” pada pertemuan itu. Saat Hasan Adnan menyinggung kewajiban menunaikan herendienst (kerja wajib) atau membayar dengan uang sebanyak f 9 bagi masyarakat pribumi, pihak keamanan Hindia Belanda memperingatkan Hasan Adnan bahwa dia sengaja sedang melakukan provokasi. Pada kali kedua Hasan Adnan diperingatkan, tokoh Muhammadiyah Lampung itu bergeming. Beliau tetap melanjutkan pidatonya sampai polisi memaksa memberhentikan dan menurunkannya dari mimbar.
Hasan Adnan dengan lugas membicarakan hal sensitif dan membuat telinga pemerintah memerah. Sebenarnya beliau bukan sedang menyinggung pemerintah, melainkan membicarakan kepentingan umat. Kita beroleh pelajaran berharga, kadang membela kepentingan ummat bisa dianggap mengganggu pemerintah. Dan, ini berisiko.
Secara umum, Muhammadiyah di mana pun, termasuk Muhammadiyah Metro bila kita lebih serius membaca sejarahnya, sudah mengangkat tema-tema keumatan seperti masalah-masalah agama dan pendidikan sejak awal mula berdiri. Tema-tema ini menjadi penting digali KMMD saat melakukan Rihlah Dakwah sebagai oleh-oleh paling mahal yang dibawa pulang. Memang, tidak ada salahnya bermuhammadiyah sampai ke Metro.
Rihlah yang amat berkesan.