Matahari Terbit di Kampung Kami

Hikmah:  Meneguhkan Kecintaan Kepada Nabi Muhammad SAW
Berita

Sumber: Foto milik penulis

al.Huda.id. Abdul Mutaqin, anggota Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo, anggota Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok Barat, dan anggota Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok menerbitkan buku sejarah lokal Muhammadiyah.  Menurut Abdul, sedikitnya ada lima alasan mengapa buku ini harus dihadirkan, khususnya bagi keluarga besar Muhammadiyah Ranting Pulo.

Pertama, kesadaran sejarah. Buku ini rekaman suara hati penangguk pasir Ciliwung, modal membangun masjid oleh para perintis Muhammadiyah Ranting Pulo. Kelak, masjid yang mereka dirikan dengan susah payah itu harus mereka tinggalkan, terusir, karena jamaah pecah kongsi; kubu Muhammadiyah dan kubu – saat itu disebut Ahli Sunnah.

Kisah ini dipendam begitu lama para perintis yang tersisa, tertimbun debu kenangan, dan berhenti dinarasikan para tetua. Entah, apa pertimbangannya. Bila dibiarkan, kisah berharga ini akan dibawa ke liang kubur para perintis yang tersisa menyusul para perintis yang mendahului berpulang. Maka, kesadaran sejarah menjadi alat penyambung lisan agar sejarah berdirinya Ranting Muhammadiyah Pulo pada 1966 itu tidak kehilangan background heroiknya. 

Kedua, kesadaran distingtif. Pada 1963, Muhammadiyah Ranting Pulo masih bergabung dengan Muhammadiyah Ranting Rawadenok. Ada inovasi kreatif para perintis di tengah-tengah keterbatasan sarana dakwah dan tekanan hegemoni Islam tradisional saat itu. Akan tetapi, para perintis Muhammadiyah bisa keluar dari keterbatasan itu dengan menghadirkan grup Marching Band, sebuah distingsi mewah, spektakuler, dan celf-confidence yang luar biasa. Bagaimana tidak, sebab tambur-tambur atau drum yang mereka pukul itu rakitan sendiri, buah kreativitas seorang Napis, Sekretaris II Pengurus Ranting Muhammadiyah Pulo periode 1966-1969.

Ketiga, kesadaran ukhuwah. Kearifan para perintis Muhammadiyah Ranting Pulo yang tidak menyimpan dendam atas masa lalu mereka yang pahit pada pihak yang mengusir mereka semata-mata karena pertimbangan ukhuwah. Sikap mengalah para tetua Muhammadiyah meninggalkan masjid yang mereka bangun kala itu merupakan langkah tepat dan sikap elegan. Dengan mengalah, para tetua telah meninggalkan legacy yang membanggakan generasi sesudah mereka. Sebaliknya, apabila saat itu mereka bertahan, bahkan melakukan perlawanan, kalah ataupun menang akan menjadi beban sejarah bagi dakwah Muhammadiyah di Kampung Pulo. Beban sejarah itu akan terus hidup dalam ingatan dan dilestarikan dalam cerita dari mulut ke mulut pihak yang kalah. Beruntung, noktah hitam beban sejarah itu berhasil dihindari para perintis.

Keempat, kesadaran fastabiq al-khairat. Buku ini seperti memoar yang merekam pembuktian terbalik bahwa dahulu ada seorang tokoh penentang dakwah Muhammadiyah Ranting Rawadenok-Pulo yang seakan “menulis takdir”, bahwa Muhammadiyah di kampung ini, katanya paling hanya bertahan dua bulan. Sebuah garansi yang membakar semangat juang para perintis untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.

Kelima, kesadaran teladan. Sejak pertama kali berdiri, para perintis Muhammadiyah Ranting Pulo memiliki kekuatan dalam kesatupaduan gerakan, konsistensi amaliyah, dan kepatuhan pada garis kebijakan organisasi. Dahulu para perintis Muhammadiyah Pulo kompak menggali pasir Ciliwung, kompak beramal, kompak mengikuti pengajian, dan kompak shalat di masjid yang mereka bangun.

Menurut sang penulis, hari ini, kekuatan itu mulai terkikis. Dampak kasat mata dari pengikisan itu adanya fakta warga persyarikatan yang jati diri Muhammadiyahnya tidak genuine lagi, jadi ambigu karena tertarik manhaj tetangga, atau menjadi salah satu kader yang disebut dalam buku ini sebagai “Kader Pragmatis”, “Kader Ambigu”, “Kader Luntur”, dan “Kader Hilang”. Beruntung, fakta itu baru sebesar “dzarrah” yang mudah didamaikan.

Problem kader seperti tipologi-tipologi di atas boleh jadi dialami Ranting-ranting Muhammadiyah di tempat lain. Maka kembali pada “setelan pabrik”, kembali pada kesatupaduan gerakan, amal, dan kepatuhan pada garis organisasi seperti yang dilakukan para pendahulu menjadi cara yang paling alami mengembalikan soliditas gerakan.

Maka, oleh Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Depok, buku ini dipandang menjadi sangat relevan dengan perkembangan persyarikatan saat ini yang sedang dicobakan dengan beragam tawaran paham dan pemikiran.

----

Buku ini hadir setelah pertaruhan umur Muhammadiyah Ranting Pulo ditakar hanya dua bulan pada 61 tahun silam. Para perintis telah menjawabnya, bahwa Muhammadiyah bak Matahari yang tetap setia terbit lebih dari setengah abad yang lalu di kampung Pulo dengan segala dinamikanya hari ini. 

Buku ini dikemas dengan bahasa yang renyah, mengalir, dan ringan meskipun ditulis dengan pendekatan sejarah. Sangat layak untuk dibaca kalangan persyarikatan. Buku ini juga penting sebagai bahan inspirasi ranting-ranting yang ingin menuangkan sejarah lokal Muhammadiyah di tempat masing-masing. Paling tidak, dengan membaca buku ini, bagaimana isi sejarah lokal Muhammadiyah dikemas sudah terbayang jelas. 

Buku ini terbit atas dukungan penuh Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo. Maka sejak buku ini terbit, Ranting Muhammadiyah Pulo telah memiliki buku penting yang mengulas sejarah kelahiran dan dinamika perkembangannya sampai hari ini. Dari penulis, buku ini adalah hadiah bagi Milad ke-112 Muhammadiyah pada 18 November 2024 esok. Happy reading.

Depok, 24 Shafar 1446 H, 29 Agustus 2024

Rep: Mikal Zidna Fajwah, Sekretaris AMM Pulo, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta.