Ringkasan Seri Pengajian Malam Senin_1
Pelajaran dari QS. An-Nisa [4]: 89. Larangan Berteman dengan Orang Munafik
Pada ayat sebelumnya (ayat 88), Allah menegur orang-orang Mukmin karena terpecah menjadi dua golongan menghadapi ulah orang-orang munafik itu. Satu golongan berkehendak agar mereka dibunuh saja, segolongan yang lain tidak perlu dibunuh karena mereka masih mengaku Islam. Padahal dalam ayat tersebut, Allah telah membalikkan orang-orang munafik itu pada kekafiran disebabkan usaha mereka sendiri. Di sini Allah mengingatkan orang-orang Mukmin agar tetap satu barisan. Mereka tidak perlu berselisih menyikapi perilaku orang munafik yang jelas-jelas sudah kembali pada kekafiran.
Ayat 89 ini masih menyinggung tentang karakter orang munafik ini. Allah mempertegas lagi, bahwa orang-orang munafik itu bukan saja bermaksud menimbulkan perselisihan di antara orang Mukmin. Lebih dari itu, mereka menginginkan agar orang-orang Mukmin menjadi kafir seperti mereka. Sedangkan orang-orang Mukmin sudah meninggalkan kekafiran itu sejak memeluk Islam bersama Rasulullah SAW. Bahkan, orang-orang Mukmin harus berhijrah untuk menyelamatkan iman mereka karena tidak sudi kembali kepada keadaan mereka semula.
Allah SAW tegaskan:
وَدُّوا۟ لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا۟ فَتَكُونُونَ سَوَآءً ۖ فَلَا تَتَّخِذُوا۟ مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَخُذُوهُمْ وَٱقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ ۖ وَلَا تَتَّخِذُوا۟ مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Mereka ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). Janganlah kamu jadikan dari antara mereka sebagai teman-teman(mu), sebelum mereka berpindah pada jalan Allah. Apabila mereka berpaling, maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana pun mereka kamu temukan, dan janganlah kamu jadikan seorang pun di antara mereka sebagai teman setia dan penolong. (QS. AN-Nisa [4] :89).
Pelajaran penting dari ayat 89 surah An-Nisa ini adalah larangan menjadikan orang-orang munafik menjadi teman karib. Bukan saja karena kemunafikan dan kekafiran mereka, melainkan kejahatan mereka kepada Rasulullah SAW, Ummul Mukminin, dan kepada para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar di masa lalu.
Orang-orang munafik selalu berbuat makar. Melakukan berbagai tipu daya, pengkhianatan, dan persekongkolan. Mereka berhubungan mesra dengan Yahudi Madinah dan musyrikin Makkah untuk melemahkan kaum muslimin dan menghancurkannya. Nah, bila kepada Rasulullah SAW saja mereka berbuat jahat, apalagi kepada manusia biasa? Lalu, pantaskan orang-orang munafik yang suka berkhianat itu dijadikan sebagai teman?
Selama orang-orang munafik itu tidak pindah (hijrah) ke jalan Allah, sepanjang itu pula larangan mengambil mereka sebagai teman karib berlaku.
Ikrimah ada menjelaskan tiga macam hijrah, termasuk hijrahnya orang-orang munafik yang dikutip Imam Al-Bagahwi dalam tafsirnya, Ma’alim al-Tanzil, sebagai berikut: pertama, hijrahnya orang-orang Mukmin pada masa awal Islam. Kedua, hijrahnya orang-orang munafik yang keluar fi sabilillah bersama-sama Rasulullah SAW dengan sabar dan mengarap imbalan (seperti yang dimaksud An-Nisa 89 di atas). Rasulullah SAW dan kaum Mukminin dilarang menjalin persahabatan dengan mereka sampai mereka benar-benar berniat berhijrah di jalan Allah. Ketiga, hijrahnya orang mukmin secara umum seperti yang dimaksud Nabi SAW dalam riwayat Imam Bukhari:
الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”
Arti Persahabatan
Persahabatan dalam ajaran Islam tidak sebatas dimensi duniawi, tapi juga ukhrawi. Karena itu, persahabatan sesama mukmin tidak pernah lepas dari unsur saling menasihati (tanasah al-asdiqa), saling membantu dalam ketaan (al-i’anah fi fi’li al-tha’ah), dan pengaruh terhadap perilaku dan jalan hidup seorang sahabat (ta’tsir al-Shadiq ‘ala akhlaaq wa sulukiyat asdiqaih).
Pengaruh seorang sahabat itu sangat menakjubkan. Dasarnya karena rasa cinta yang tulus. Seorang sahabat bisa menerima nasihat dengan tangan terbuka sekalipun nasihat itu menyakitkan. Boleh jadi dia marah bila nasihat itu didengarnya dari orang lain. Begitulah ibrah yang bisa diambil dari persahabatan antara Abu Darda' radhiyallaahu ‘anhu dan Abdullah bin Abi Rawahah radhiyallahu 'anhu yang terjalin sejak masa jahiliyah.
Ketika Abdullah bin Rawahah masuk Islam, dia pergi menemui sahabatnya Abu Darda yang masih musyrik. Abdullah bin Rawahah menemukan berhala di tempat Abu Darda dan menghancurkannya. Abdullah bin Rawahah meyakinkan Abu Darda, bahwa berhala-berhala itu hanya benda mati yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat. Tidak pula mampu membela diri.
Bagaimana reaksi Abu Darda saat itu? Apakah dia marah karena berhala yang sangat dihormatinya itu dihancurkan? Atsu dia dendam benda yang disembah dan dipertuhankan dalam sistem kepercayaan masyarakat Arab jahiliyah itu dihancurkan sahabatnya sendiri? Tidak. Abu Darda tidak marah. Dia menerima nasihat sahabatnya itu dengan lapang dada lalu memutuskan masuk Islam.
Abdullah bin Rawahah memberi nasihat, dan Abu Darda menerimanya karena dasar cinta pada persahabatan mereka yang tulus.
Sudah dimengerti, bahwa teman mempunyai pengaruh terhadap tindakan dan tingkah laku seseorang. Dia mengikuti akhlak dari teman bergaulnya, baik atau buruk. Nabi shllallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Imam Tirmizi, menganjurkan memilih teman bergaul yang baik, sebab besar pengaruhnya bagi sikap beragama seseorang.
الرَّجلُ على دِينِ خليلِه، فلْينظُرْ أحدُكم مَن يُخالِلْ
“Seseorang mengikuti agama sahabatnya. Maka, hendaklah masing-masing kamu memperhatikan kepada siapa saja seseorang itu bergaul.
Dalam riwayat yang lain, perumpamaan teman yang baik seperti berkawan dengan seorang penjual kesturi. Siapa pun yang berkawan dengannya tidak kekurangan manfaat meskipun sekadar menghirup wanginya kesturi. Berbeda bila bersahabat dengan pandai besi dari berisiko keburukannya meskipun sekadar percikan api.
مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ والسَّوْءِ، كَحامِلِ المِسْكِ ونافِخِ الكِيرِ، فَحامِلُ المِسْكِ: إمَّا أنْ يُحْذِيَكَ، وإمَّا أنْ تَبْتاعَ منه، وإمَّا أنْ تَجِدَ منه رِيحاً طَيِّبَةً، ونافِخُ الكِيرِ: إمَّا أنْ يُحْرِقَ ثِيابَكَ، وإمَّا أنْ تَجِدَ رِيحاً خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman yang baik dan yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Yang membawa minyak wangi, boleh jadi dia memberimu, atau kamu membeli daripadanya, atau paling tidak kamu mendapatkan harum semerbak daripadanya. Adapun tukang pandai besi, boleh jadi bajumu terbakar karenanya, atau kamu mendapatkan bau busuk daripadanya."(HR Al-Bukhari).
Maka, menjadi sangat penting menjauhi berkawan dengan orang munafik, sebab akan membawa kepada keburukan. Sebaliknya, berkawan dengan Mukmin yang baik, akan membawa kepada kebaikan.
Di antara kebaikan berteman kepada teman yang baik itu membantu untuk taat kepada Allah dan menghindari larangan-Nya (yu’inu ‘ala tha’atillaah wajtinabi al-nawahi), mengajak pada kebaikan dan melarang kemunkaran (yuhitstsu ‘ala al-amri bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘ani-almunkar), menjadi sebab mendekatkan pada ilmu yang bermanfaat dan menuntutnya (yakunu sababan litaqarrub min al-‘ilmi al-nafi’ wa talabih), dan selalu menasehati temannya agar mencari pahala (yus’a ila al-nasah al-daim li sahibih thalaban liajri min Allah).
Allahu a’lam bishawab.
____
Sayyid Qutb, Fii Zhilal al-Qur'an, edisi Bahasa Indonesia.
https://mawdoo3.com/ أهمية_الصداقة_في_الاسلام