Moh. Mansyur Tokoh Muhammadiyah Ranting Pulo Paling Lugas (Bagian 1 dari dua tulisan)

Hikmah:  Meneguhkan Kecintaan Kepada Nabi Muhammad SAW
Tokoh

Oleh: Abdul Mutaqin*

Muhammadiyah Ranting Pulo sudah hampir mendekati usia 60 tahun. Berarti, Muhammadiyah di kampung ini sudah cukup untuk disebut tua. Patahlah asumsi yang dilontarkan para penentang di masa-masa awal Muhammadiyah didakwahkan di Rawadenok dan Pulo saat itu. Mereka berkata, bahwa Muhammadiyah di kampung ini hanya akan mampu bertahan tidak lebih dari tiga bulan saja.  

Tentu, untuk bisa membuktikan Muhammadiyah dapat bertahan lebih dari tiga bulan sampai sekarang, para perintis telah menempuh jalan yang terjal. Melalui tantangan dan rintangan yang sungguh berat. Tapi, dengan keyakinan yang teguh bahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang berjuang di atas kebenaran, dalil asumsi para penentang itu patah sendiri. 

Ada sosok-sosok berjasa. Mereka generasi pertama yang menyikapi penolakan, menghadapi lemparan batu, dan menjawab tuduhan-tuduhan miring pada Muhammadiyah. Mereka berdiri bersaf-saf laksana “ka annahum bunyanun marsus” di medan jihad menghadapi para penentang yang bernafsu ingin mematikan Muhammadiyah, supaya ia layu sebelum berkembang, supaya organisasi ini mati muda sebelum dewasa.   

Inilah kekuatan para perintis. Mereka tidak bersusah payah membela diri dengan meyakinkan para penentangnya bahwa Muhammadiyah benar, tapi lebih memilih menanamkan keyakinan kepada para anggota Muhammadiyah yang masih awam bahwa pedoman mereka adalah Alquran dan sunnah, dasar yang tidak mungkin didustakan oleh yang mengaku muslim di mana pun. Maka, penolakan tidak dibalas dengan sentak pongor. Lemparan batu tidak dibalas lemparan batu pula. Dan, keraguan dibalas amal usaha. 

Bahkan para perintis ini terlalu tangguh. Mereka tetap bergerak sambil terus mengibarkan panji matahari di kampung kita. Padahal modal mereka bukan kekuatan otot, bukan uang, bukan pula sokongan aparat. Modal mereka hanya keyakinan, kesabaran, dan keikhlasan berjuang di jalan Allah. Itu saja.

Seorang dari para perintis ini adalah Allahuyarham Moh. Mansyur, tokoh kunci Muhammadiyah. Beliau salah seorang dari penyemai, penggerak, dan penyampai ideologi Muhammadiyah Ranting Pulo. 

Giat Mengaji 

Moh. Mansyur anak kedua dari Engong Kemban dan Nyai Amah–populer dikenal dengan panggilan Engkong Roh. Lahir pada 1932 dan wafat pada 1995. Wataknya tegas. Bahasanya lugas. 

Sejak muda, sebelum bergabung dan terjun dalam Muhammadiyah, Moh. Mansyur giat mengaji ke kampung-kampung. Kampung Rawadenok mengaji bersama Ustaz M. Awab Usman, Parung Bingung mengaji di rumah Lajib, sampai mengaji ke Kampung Cikumpa di Depok di rumah Noin. 

Moh. Mansyur menghidupkan pengajian keliling dari rumah ke rumah yang diikuti cikal-bakal generasi awal Muhammadiyah. Karena keterbatasan guru ngaji waktu itu, Moh. Mansyur pernah mendatangkan seorang mualim bernama Guru Dul untuk mengisi pengajian mereka. 

Pengajian Guru Dul diselenggarakan dari rumah ke rumah setiap malam Selasa bakda Isya. Satu waktu jadwal pengajian Guru Dul dilaksanakan di Cikupa. Ke Cikupa pula jamaah pengajian dari Pulo berangkat bersama-sama mengaji dengan membawa petromaks sebagai penerang yang menuntun mereka sampai ke tempat pengajian. 

Selepas lebaran, Moh. Mansyur biasa mengajak beberapa anggota pengajian bersilaturahim ke rumah Guru Dul ini sebagai bentuk penghormatan kepada guru ngaji. Amit Disan, Namin, dan Ma'ruf pernah turut mendampingi Moh. Mansyur datang ke Pejaten, Pasar Minggu selepas lebaran ke rumah Gur Dul tinggal. 

Sejak mengaji dengan Guru Dul, bibit-bibit ketidaksukaan sebagian orang pada pengajian yang dipimpin Moh. Mansyur dan jamaah Pulo mulai berembus. Pengajian Guru Dul mulai diawasi. Satu kali, bahkan pengajian di rumah Linah Limin dilaporkan ke polisi. Polisi datang mengawasi hingga pengajian selesai. Demikian pula pengajian yang diselenggarakan di rumah Saidih dan beberapa kali pengajian di rumah Moh. Mansyur sendiri. 

Akan tetapi, pengajian tetap berlangsung meskipun dalam pengawasan aparat. Polisi pun tidak mengambil tindakan apa-apa. Malah, polisi-polisi itu jadi ikut mengaji pada Guru Dul bersama Moh. Mansyur dan kawan-kawan sebab mereka baru bubar setelah pengajian usai. 

Pengajian Guru Dul khusus mengupas masalah tauhid. Bahasan utamanya memperdalam makna kalimat “Laa ilaaha illallaah” dan bahaya perbuatan syirik. Tampaknya, tema inilah yang mulai memancing reaksi keras kelompok yang melaporkan pengajian Guru Dulu karena dirasa menyinggung kebiasaan mereka. Para pelapor itu kemudian menebar tuduhan pengajian Guru Dul sebagai “Pengajian Hakekok”. 

Budayawan Ridwan Saidi ada memperkenalkan term Hakekok dalam bukunya "Diburu Mossad Dan Lakon Politik "Ce Guevara Melayu". Ridwan menyebut, Hakekok adalah plesetan dari hakikat, aliran sesat yang berkedok Islam. Pemeluknya mengadakan semacam ritual tertutup pada malam hari, di mana laki-laki dan perempuan mencopot busana, lalu lampu dimatikan.

Pada masa-masa awal-awal kemerdekaan, kelompok Hakekok mencuat ke permukaan. Keberadaannya disinggung dalam tulisan Justus M. van der Kroef, profesor di Departemen Sosiologi Universitas Bridgeport, Connecticut, Amerika Serikat. Justus menyinggung Hakekok dalam tulisannya, “New Religion Sect in Java” yang dimuat dalam Fast Eastern Survey, Vol. 30. No. 2, 1961. Justus mengungkap bahwa pada awal 1952, Kantor Departemen Agama Jawa Barat mengumumkan kemunculan 26 sekte agama baru di wilayah Jawa Barat, salah satunya Hakekok. 

Keberadaan Hakekok ini mengganggu ketentraman masyarakat karena ritualnya seperti yang disinggung Ridwan Saidi yakni ritual laki-laki dan perempuan melepas pakaian kemudian lampu dimatikan. 

Tampaknya, ada dua alasan yang dibuat-buat para pengintai bahwa pengajian Guru Dul dituduhnya sebagai kelompok Hakekok. Pertama, hakikat “Laa ilaaha illallaah” yang menjadi bahasan utama Guru Dul. Kedua, pengajian dilaksanakan pada malam hari dan kerap hingga pukul dua dini hari pengajian baru usai. 

Akan tetapi, tidak ada ritual Hakekok dan penyimpangan ajaran dari hakikat “Laa ilaaha illallaah” yang diajarkan Guru Dul. Oleh karena itu, polisi itu tidak mengambil tindakan apa-apa. Guru Dul sebagai pengajar dan Moh. Mansyur sebagai inisiator pun tidak pernah diperkarakan atau dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. 

Menurut M. Ma’ruf, kehadiran polisi pada pengajian Guru Dul menguntungkan Guru Dul dan jamaah pengajian. Malah, pengajian mereka terkesan istimewa. Bagaimana tidak, pengajian yang dijaga polisi berarti mengamankan mereka dari kemungkinan akan diserang kelompok-kelompok yang menuduhnya sebagai “Pengajian Hakekok”. Alih-alih dilaporkan polisi, polisinya malah mengamankan, bahkan ikut mengaji.

Tegas dan Lugas

Ketegasan dan kelugasan Moh. Mansyur melekat saat beliau mengajar mengaji. Sabenih, Samain, Abdurrahman (Allahuyarham) Sanusi, Yusuf, Mulyani atau generasi seangkatan mereka yang lain adalah generasi yang merasakan langsung ketegasannya saat dibimbing mengaji di rumah beliau.   

Begitu juga saat berkhotbah atau berpidato di atas mimbar, ketegasan dan kelugasan Moh. Mansyur sangat menonjol. Apalagi bila sudah menjelasan perkara tauhid atau kemungkaran dalam khotbah-khotbah atau ceramah-ceramahnya. Kalau sudah hitam, ya hitam, putih, ya putih meskipun ceramah itu disampaikan di depan aparatur pemerintah desa yang rutin melakukan kunjungan tiap Ramadhan ke Ranting Muhammadiyah Pulo. 

Boleh jadi karena ketegasan dan kelugasannya ini, Moh. Mansyur sempat menghadapi todongan pistol –konon dari anggota pasukan Cakrabirawa– bernama Saprin. Cakrabirawa adalah pasukan di bawah pimpinan Letkol Untung yang menculik dan membunuh enam jenderal dan seorang perwira pertama pada peristiwa kudeta yang gagal, yaitu G30S PKI pada 1965.

Sebelum peristiwa G30S, PKI sangat kuat memegang kontrol negara, termasuk upaya membungkam kekuatan Islam. Di mana-mana tokoh-tokoh Islam diintimidasi, para ulama dan kiai banyak yang dibunuh, partai Islam seperti Masyumi pun dibubarkan. 

Dari koleganya, Moh. Mansyur sempat mendapat bocoran bahwa dirinya, M. Ma’ruf, dan Ustaz M.ِ Awab Usman sudah menjadi target operasi PKI di sekitaran Rawadenok dan Pulo. Namun, setelah kudeta yang gagal itu dan PKI menjadi musuh rakyat dan negara, ada dari eks anggota PKI malah mencari perlindungan, termasuk perlindungan memanfaatkan kebaikan warga Muhammadiyah. 

Sosok Pembelajar

Nawawi Napih, tokoh muda pada masa awal berjuang mendakwahkan Muhammadiyah ini punya catatan menarik mengenai Moh. Mansyur. Nawawi menyebut Moh. Mansyur banyak belajar dari Sayyid Muhammad, tokoh keturunan Arab lulusan Yaman yang mengajar agama di Rawadenok dan sempat terlibat mendirikan Madrasah Al-Hidayah. 

Moh. Mansyur termasuk orang Pulo yang kenal baik dan dididik langsung beliau. Menurut Nawawi, boleh dibilang, Moh. Mansyur adalah murid kesayangan Sayyid Muhammad. Karena itu, Moh. Mansyur punya hubungan khusus dengan beliau, sangat tahu kedalaman ilmu Sayyid Muhammad, baik pemahaman tentang syari’at maupun ilmu batinnya. Dari Sayyid Muhammad lah, Moh. Mansyur menderas ilmu dari ulama yang berafiliasi pada pergerakan Al-Irsyad yang didirikan Syaikh Ahmad Surkati ini. 

Kelak, Moh. Mansyur menjadi salah seorang yang turut mengurus perubahan status dari langgar Pak Tua Kiran menjadi masjid Jami Al-Barkah bersama Sayyid Muhammad. Ini memperkuat gambaran kedekatan hubungan keduanya seperti kesaksian Nawawi. Nanti di Masjid Jami Al-Barkah, sebelum terjadi peristiwa pengusiran, Moh. Mansyur menjadi salah satu Khatib dari empat dewan khatib; H. Ti’ih, Najeh, dan M. Ma’ruf.

Sifat pembelajar Moh. Mansyur juga dibenarkan M. Ma’ruf pada momen yang berbeda. Bagi M. Ma’ruf, bahkan sifat pembelajar Moh. Mansyur menjadi keberkahan sendiri baginya. Pertama, M. Ma'ruf berkesempatan melanjutkan pendidikan ke PGA atas dorongan Ustaz M. Awab Usman, Zakaria, dan Moh. Mansyur sebagai usaha mempersiapkan kader di bidang pendidikan yang dibiayai mereka.

Kedua, Moh. Mansyur rutin memasok naskah khutbah yang kelak menjadi buku kumpulan khutbah Jum’at berjudul “Ruhul Mimbar” kepada M. Ma’ruf sebagai bahan khutbah di Masjid Jami Al-Barkah sepulangnya Moh. Mansyur dari Jakarta. Moh. Mansyur tahu betul, M. Ma’ruf satu-satunya khatib di Al-Barkah yang menguasai  teknik membaca naskah semacam “Ruhul Mimbar” dengan lancar.

Ruhul Mimbar, Surkati, dan Ahmad Dahlan

“Ruhul Mimbar” merupakan karya ulama Betawi KH. Ali Alhamidy (1903-1985) yang ditulis dalam ragam tulis Arab Pegon atau Arab Melayu.  Ulama Betawi ini termasuk ulama pembaharu yang berafiliasi pada Ormas Islam Persis. Beliau salah satu penganjur shalat Ied dilaksanakan harus di tanah lapang. Karena menganjurkan yang demikian, KH. Ali Alhamidy pernah menjadi imam dan khatib shalat Idul Fitri di Lapangan Banteng, di bawah penjagaan ketat tentara Dai Nippon, Jepang, pada 1945. 

Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, KH. Ali Alhamidy setiap minggu rutin menulis naskah khutbah Jum’at yang akan digunakan para khatib di masjid-masjid. Tidak hanya masjid-masjid di Jakarta, tetapi juga sampai ke masjid-masjid di Sumatera dan Kalimantan. Bahkan, masjid-masjid Ahlussunnah wal Jamaah di Jakarta pun memakai naskah KH. Ali Alhamidy ini.  

Di Jakarta, naskah khutbah KH. Ali Alhamidy dinilai lebih condong pada paham keagamaan Muhammadiyah. Apalagi, KH. Ali Alhamidy dikenal sebagai “Mubaligh Kaum Muda” setelah berguru pada Syaikh Ahmad Surkati (1874-1943) yang didatangkan ke Batavia oleh perkumpulan Djami’atoel Kheir pada 1911 untuk mengajar di sekolah yang diurus oleh orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan Ba’alwi di Jakarta. 

Kelak, Syaikh Ahmad Surkati bertemu dengan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) saat perjalanan kereta api menuju Surabaya. Syaikh Ahmad Surkati tertarik dengan KH. Ahmad Dahlan yang saat itu sedang membaca Majalah al-Manar, majalah kaum pembaharu karangan Syaikh Rasyid Ridha (1865-1935) dari Mesir. Syaikh Ahmad Surkati kemudian mendekat dan berkenalan dengan tokoh yang kelak mendirikan Muhammadiyah ini.

Perkenalan di kereta berlanjut secara pribadi. Dalam catatan Syafiq Mughni, keduanya pernah berdiskusi soal rencana KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Syaikh Ahmad Surkati menyebut KH. Ahmad Dahlan sebagai Wali Allah Ahmad dan Nashiruddin Dahlan yang menilai pemikiran Ahmad Dahlan sebagai wali Allah dan pembela agama yang cerdik sebagai bentuk kekaguman kepada KH. Ahmad Dahlan.

Secara lembaga, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pernah mengirim surat kepada Syaikh Ahmad Surkati pada Maret 1938 berisi pertanyaan tentang al-din, al-dunya, sabilillah, dan qiyas. Kalangan Irsyadi menyebut jawaban Syaikh  Ahmad Surkati sebagai “Fatwa kepada PP Muhammadiyah.” 

Boleh jadi, karakter pembaharu dalam “Ruhul Mimbar” ini yang mendorong Moh. Mansyur merasa cocok dan perlu memperkenalkannya kepada M. Ma’ruf saat itu. Di lain sisi, kebaikan hati Moh. Mansyur ini amat disyukuri M. Ma’ruf yang lebih lancar membaca naskah Arab Pegon daripada naskah huruf latin di tengah kelangkaan bacaan agam yang bermutu saat itu.  

Arab Pegon sendiri adalah abjad Arab yang dimodifikasi untuk menulis naskah berbahasa Jawa, Madura, dan Sunda. Kata “pegon” berasal dari bahasa Jawa, dari kata “pégo” yang berarti "menyimpang", sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim atau menyimpang. Sering pula disebut Arab Melayu, modifikasi aksara Arab yang disesuaikan dengan Bahasa Melayu di seantero Nusantara. 

Dari “Ruhul Mimbar” Moh. Mansyur memperkenalkan pemikiran-pemikiran pembaharuan kepada M. Ma’ruf melalui corong khutbah Jumat di Masjid Jami Al-Barkah dan kelak juga disampaikan di Masjid Jami Al-Huda. Sangat mungkin Moh. Mansyur sudah lebih dahulu menyerap isi “Ruhul Mimbar” dari khatib-khatib shalat Jumat saat beliau berada di Jakarta.

Suka Membaca

Moh. Mansyur sangat suka membaca. Kebiasaan membacanya tidak mengenal waktu. Kapan saja kebiasaan itu dilakukan meskipun sedang “ngeset” bambu. Sambil ngeset selalu ada buku terbuka di depannya. Sesekali buku itu dibacanya beberapa saat lamanya, lalu diletakkan untuk melanjutkan ngeset. Berulang-ulang membaca dan ngeset bergantian. Begitu terus kebiasaan itu dilakukan secara konsisten. Jadi, sedang ngeset saja masih sempat membaca, apalagi pada waktu-waktu sedikit luang.

Sebagai sosok pembelajar dan gemar membaca, Moh. Mansyur membaca banyak rujukan penting. Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam abu Zakariya Yahya bin syaraf An-Nawawi menjadi rujukan yang paling banyak dibaca di samping buku-bukunya yang lain seperti Pedoman Sholat karya Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asbabun Nuzul karya Imam Jalaluddin Assuyuthi, Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah karya Muhammad Sholeh Al Utsaimin, Syu'abul Iman karya Imam Abubakar Ahmad bin Husain Baihaqi, Kembali Kepada Haq karya A. Musa, Sejarah Islam karya Rustam Ibrahim, Menyingkap Rahasia Kebahagiaan karya Imam Al Ghazali, Aqidah Islam karya Sayid Sabiq, HPT 1968, K.H.A. Dahlan Amal & Perjuangan karya Yunus Salam, Khutbah Jum'at, dan buku-buku lain yang masih tersimpan sampai saat ini. (Bersambung).