Moh. Mansyur Tokoh Muhammadiyah Ranting Pulo Paling Lugas (Bagian 2 dari dua tulisan)
Oleh: Abdul Mutaqin*
Perhatian Pada Pendidikan
Pada kisaran tahun 1956, H. Jaelani dan Zakaria mendirikan madrasah blandongan yang diasuh Ustaz M. Awab Usman dan M. Ma’ruf –M. Ma’ruf menyebut madrasah tersebut Madrasah Wajib Belajar yang disingkat MWB. Siswa MWB saat itu masih berjumlah belasan.
Pada saat MWB sudah berjalan lebih kurang satu setengah tahun, Ustaz M. Awab Usman menemui Ajum, Kemban, dan Moh. Mansyur. Ustaz M. Awab Usman meminta pendapat dan dukungan mereka atas rencana membangun sekolah baru karena siswa blandongan semakin bertambah dari hanya lima belas saja bertambah sekitar tiga puluh lima siswa. Ajum, Kemban, dan Moh. Mansyur setuju dan mendukung penuh usulan itu.
Mendapat dukungan dari tokoh di Pulo, Ustaz M. Awab Usman kemudian berencana akan mengadakan musyawarah bersama tokoh-tokoh Pulo dengan tokoh-tokoh Rawadenok. Kesepakatan pun didapat. Baik tokoh-tokoh Pulo dan Rawadenok bersepakat bulat mendukung rencana Ustaz M. Awab Usman.
Para tokoh saling memberikan dukungan. Jafar menyumbang kayu. Tokoh lain menyumbang uang dan bahan-bahan bangunan lain. Ajum, Pak Tua Roh, Pak Tua Linah Limin, dan Majen menyumbang tenaga menjadi tukang mengerjakan bangunan bersama dengan beberapa tukang dari Rawadenok seperti Janong dan Toleng. Berdirilah bangunan dua lokal sekolah berupa bangunan tiang kayu yang menggantikan madrasah blandongan sekitar tahun 1958.
Peran Moh. Mansyur memang tidak terlalu besar pada pembangunan fisik sekolah itu. Akan tetapi, dari sisi pemikiran dan perhatiannya pada pendidikan sangat besar sebagai yang turut membidani lahirnya sekolah ini. Hal ini karena Moh. Mansyur lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta sebagai pedagang sambil menjalin hubungan dengan Haji Abdurrahman –warga Muhammadiyah Pulo mengenalnya dengan Haji Mamang– tokoh yang banyak menyokong perjuangan Moh. Mansyur dan Muhammadiyah Ranting Pulo di kemudian hari.
Diusir
Sejak masih menjadi khatib dan imam di Masjid Jami Al-Barkah, Moh. Mansyur dan jamaah yang sepaham sudah menjalankan praktik-praktik ibadah sesuai paham berdasar dalil-dalil yang dinilai lebih kuat. Akan tetapi, paham yang diamalkan Moh. Mansyurt dan jamaahnya dipandang oleh kelompok Ahlussunnah wal Jamaah sebagai paham baru yang menabrak adat dan tradisi beragama mereka yang sudah mapan.
Di antara amalan-amalan sesuai paham baru, Moh. Mansyur biasa berkhotbah tanpa memegang tongkat dan tidak mengenakan jubah, tidak melaksanakan qobliyah Jum’at, tidak melafazkan niat (mengucapkan ushalli saat hendak takbiratul ihram), dan memimpin shalat Tarawih dengan 11 rakaat.
Pada mulanya, cara-cara ibadah Moh. Mansyur tidak mengundang reaksi jamaah Masjid Jami Al-Barkah dari barisan Ahlussunnah wal Jamaah. Dua komunitas dapat bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Moh. Mansyur dan jamaah yang sepaham pun tidak pernah mengusik atau menyalahkan mereka yang memegang tongkat dan mengenakan jubah saat berkhotbah, tidak juga mencela jamaah melaksanakan qobliyah Jum’at, tidak pula menyesatkan bagi yang melafazkan niat (mengucapkan ushalli saat hendak takbiratul ihram).
Entah siapa yang menyulut sentimen kepada Moh. Mansyur dan jamaahnya hingga Moh. Mansyur dan jamaahnya diusir dari Masjid Jami Al-Barkah. Pengusiran itu terjadi di malam kedua Ramadhan.
Pada malam pertama Ramadhan sebelum pengusiran, Moh. Mansyur memimpin tarawih 11 rakaat. Namun di malam kedua, menurut kesaksian Syamain yang hadir pada malam kedua tarawih, Moh. Mansyur sempat bersitegang dengan H. Ti'ih yang tidak menerima, sebab amaliyah tarawih yang sudah mentradisi adalah 23 rakaat. Puncaknya, H. Ti'ih melarang Moh. Mansyur dan jamaahnya yang sepaham tidak boleh lagi melaksanakan shalat Tarawih di Masjid Jami Al-Barkah.
Mugenih (Allahuyarham), adik kandung Moh. Mansyur mendapat berita pengusiran itu dari seorang tokoh yang masih terhitung kerabatnya sendiri. “Mulai besok, orang Muhammadiyah tidak boleh lagi teraweh di masjid!” Demikian informasi yang sampai kepada Mugenih dari kerabatnya itu.
Beberapa hari setelah peristiwa pengusiran itu, jam saku milik Masjid Jami Al-Barkah dijemput tiga orang jamaah Ahlussunnah wal Jamaah di rumah Nafis. Nafis memang orang yang dipercayakan memegang jam itu. Setiap hari Jum'at, Nafis menitipkan jam itu kepada M. Ma'ruf untuk mencocokkan masuknya waktu shalat Jum’at di Masjid Jami Al-Barkah. Selain memegang jam milik masjid, Nafis orang yang diberi wewenang mengatur jadwal khutbah Masjid Jami Al-Barkah.
Nafis menyerahkan jam itu kepada utusan masjid tanpa banyak bicara atau mempertahankan jam itu tetap di tangannya. Maka, selesailah tugas Nafis merawat jam itu. Itulah peristiwa yang menjadi simbol pengambilalihan Masjid Jami Al-Barkah yang nanti sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang baru tanpa melibatkan Moh. Mansyur dan jamaahnya.
Mendirikan Muhammadiyah
Setelah diusir, Moh. Mansyur dan jamaahnya pindah shalat tarawih di langgar wakaf keluarga (Allahuyarham) Engkong Nain. Langgar yang terletak paling selatan kampung di bibir setu Asih itu langgar sederhana, bangunan panggung berukuran 4 x 6 meter persegi. Karena jamaah yang membludak, langgar panggung yang lebih dikenal dengan langgar Pak Saenan itu roboh. Langgar kemudian diperbaiki, sekadar untuk mereka tetap bisa menuntaskan shalat tarawih sampai malam terakhir Ramadhan tahun itu.
Semangat dakwah Moh. Mansyur dan jamaahnya tidak surut karena tiusir dan langgar Engkong Nain roboh. Bahkan, dengan sebab diusir dan musibah robohnya langgar itu, mulailah Moh. Mansyur dan tokoh-tokoh tua berpikir bagaimana caranya bisa membangun masjid sebagai pusat dakwah dan pusat ibadah mereka.
Tiga hari setelah Idul Fitri, Moh. Mansyur dan para tokoh tua bermusyawarah. Tidak berselang lama, mereka sanggup membebaskan tanah yang sekarang berdiri di atasnya Masjid Jami Al-Huda Ranting Muhammadiyah Pulo seharga Rp45.000 yang dibeli dari tanah milik Naung.
Nanti, pada 1961 Ranting Muhammadiyah resmi berdiri. Saat itu, Ranting Muhammadiyah merupakan Ranting yang menaungi jamaah Muhammadiyah Pulo dan Rawadenok. Pimpinan Ranting saat itu dipercayakan kepada Zakaria sebagai Ketua, Moh. Mansyur sebagai Wakil Ketua, Nawawi Napih sebagai Sekretaris, H. Jaelani sebagai Bendahara, dan Rahid sebagai Anggota.
Bersahaja
Meskipun berwatak tegas dan lugas, Moh. Mansyur memiliki sifat bersahaja. Beliau juga bergurau kepada salah satu dari anak-anaknya atau merespons gurauan itu, seperti kepada Ahmad Dahlan.
Satu kali, Ahmad Dahlan pernah bertanya kepada Moh. Mansyur perihal apakah di surga nanti ada Muhammadiyah dan ada NU. Dahlan bertanya demikian karena melihat kegigihan Moh. Mansyur berjuang di Muhammadiyah sedemikian keras.
“Ya, kalo begitu mah, enak dong!” Moh. Mansyur menjawab dengan tersenyum seperti dituturkan Ahmad Dahlan sambil mereka memeriksa saluran air. “Ya, kagak ada di sono, mah. Yang penting udah Islam belon, lu?” Imbuh Moh. Mansyur.
“Udah,” jawab Dahlan.
“Yang penting Islam, ya udah!” Tegas Moh. Mansyur.
Jawaban bersahaja Moh. Mansyur sambil tersenyum tersebut mengandung pelajaran yang sangat penting. Pertama, bahwa Islam merupakan syarat bisa masuk surga, bukan harus NU atau Muhammadiyah. Adapun pendiri Muhammadiyah berusaha sungguh-sungguh mengajak anggota-anggotanya memahami dan mengamalkan Islam yang sebenar-benarnya, Islam yang mengantarkan pemeluknya bisa masuk surga.
Kedua, bahwa kecintaan kepada Muhammadiyah bukanlah kecintaan fanatisme kepada Muhammadiyahnya an sich! Melainkan kecintaan kepada ajaran Islam yang diajarkan Muhammadiyah berdasar Alquran dan sunnah. Maka, semakin anggota-anggotanya memahami Islam dengan sebenar-benarnya, bertambah pula kecintaan kepada Muhammadiyah sebagai sarana mengamalkan Islam yang sebenar-benarnya itu.
Ketiga, begitulah hakikat bermuhammadiyah yang benar yang menjunjung tinggi ajaran Islam. Maka, boleh jadi, bila satu waktu ada persoalan-persoalan aqidah atau ibadah yang sudah diamalkan warga Muhammadiyah yang ternyata di belakang hari ditemukan ada dalil yang lebih shahih dan rajih (lebih kuat), maka warga Muhammadiyah akan diarahkan kepada dalil yang lebih shahih dan rajih itu. Artinya, semangat Islam lah yang didahulukan daripada keputusan fatwa Majelis Tarjih. Karena keputusan hasil telaah Majelis Tarjih bisa diperbarui, sedangkan syariat bersifat tsubut atau tetap.
Teringatlah kita pada satu penggalan syair dari Mars Muhammadiyah yang menjunjung Islam di atas organisasi, "Al-Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku."
Demikianlah, sebagian kecil dari pemikiran, kiprah, dan perjuangan Moh. Mansyur sebagai tokoh kunci Muhammadiyah Ranting Pulo yang direkam pada tulisan sederhana ini. Semoga Allah merahmati beliau.|
___
*Anggota Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo, Anggota Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok Barat, dan Anggota Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok Periode 2022-2027.
Sumber tulisan:
Napih, Nawawi. 2022. 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok (1952-1982) Asal-usul Tantangan dan Pengembangan. Cet. II. Depok. Irfani.
Mutaqin, Abdul. 2021. Tarawih Terakhir Peran Da’i Pembaharu Akar Rumput Dalam Dinamika Dakwah di Kampung Halaman. Jakarta. Pustaka MP.
Dokumen hasil wawancara dengan H. Nawawi pada Ahad, 19 September 2021.
Dokumen hasil wawancara dengan H. Mugenih pada Senin pagi, 6 Desember 2021, di kediaman H. Mugenih.
Dokumen hasil Wawancara dengan H. Sabenih pada Jum'at, 10 Desember 2021 di kediaman H. Sabenih.
Dokumen hasil Wawancara dengan Syamain pada Jum'at, 10 Desember 2021.
Koresponden melalui WA dengan Abdul Malik, putra Moh. Mansyur pada Senin, 25 Desember 2023, pada rentang pukul 13.20-14.59 WIB.
Koresponden melalui WA dengan Abdul Kholil, cucu Moh. Mansyur pada Selasa, 26 Desember 2023, pada rentang pukul 10.37-15.53 WIB.
Dokumen rekaman Wawancara dengan Ahmad Dahlan, putra Moh. Mansyur, dan Yusuf Amat yang banyak mendamping Moh. Mansyur bertani. Wawancara berlangsung pada Senin 25 Desember 2023, pukul 15.31-16.28 WIB, di masjid Jami Al-Huda.
Koresponden melalui WA dengan Moch. Yusuf, menantu Moh. Mansyur pada Senin 25 Desember pukul 18.55-19.01 WIB, dan Selasa, 26 Desember 2023 pukul 09.37-10.40 WIB.