Sejarah

MASJID AL HUDA

SISI SEJARAH YANG HAMPIR TERLUPAKAN

Cikal Bakal

Masjid Al Huda tumbuh berkembang menyusul geliat dakwah Muhammadiyah pada era 50-an di Kampung Pulo dalam rentang sejarah yang panjang. Karena itu, secara historis, Masjid Al Huda tidak bisa dilepaskan dari kiprah tokoh-tokoh Muhammadiyah generasi pertama yang merintis persyarikatan Muhammadiyah dengan cucur keringat dan urunan ikhlas sekeping dua keping harta mereka.

Bermula dari sebuah langgar, langgar Pak Tua Naen. Beberapa generasi dari keturunan Isnaen mengenalnya sebagai langgar Pak Tua Kiran. Boleh jadi, karena relasi Kiran dengan sohibul langgar adalah menantu. Kiran menikah dengan anak perempuan Isnaen yang bernama Siyem (Mak Siyem). Memang, Kiran lah yang diserahi menjadi imam langgar, menjadi tetua dalam tradisi peribadatan masyarakat sekitar. Maka, disebut juga lah langgar itu "Langgar Pak Tua Kiran".

Pada 1949, Langgar Pak Tua Kiran diubah statusnya menjadi masjid. Tokoh yang mengurus pengubahan itu adalah Sayyid Muhammad, Ti’ih, dan Muhammad Mansyur. Sekarang masjid itu masih berdiri kokoh, namanya Masjid Al-Barkah, di selatan Kampung Pulo.

Menjadi Masjid

Syahdan, cikal bakal warga Muhammadiyah generasi awal di Kampung Pulo merupakan jamaah Masjid Jami Al-Barkah sekarang. Masjid itu diresmikan pada 1949 dari statusnya yang semula hanya sebuah langgar.

Karena punya relasi kuat dengan para pendiri Muhammadiyah, Al Barkah menjadi saksi bisu perjuangan dan pengorbanan warga Muhammadiyah generasi awal. Mereka ialah orang-orang yang mengeruk pasir Ciliwung dan mengangkutnya dengan pundak-pundak mereka sampai di pelataran untuk membangun Al  Barkah. Jerih payah itu mereka tempuh setiap Jumat pagi pada tiap pekan. Sepikul demi sepikul, selengke demi selengke pasir dikumpulkan menempuh jarak hampir 16 kilometer pulang pergi.

Dari adukan pasir Ciliwung, batu dan kapur, bercampur tetesan keringat, dibangun pondasi, lantai, dan dinding Al-Barkah. Senanglah rasa hati. Terbayar cucur keringat setengah mati saat mereka dapat ruku, duduk tawarruk, dan sujud menegakkan salat di masjid ini.

Muhammad Mansyur dan M. Ma'ruf; dua tokoh Muhammadiyah Kampung Pulo memegang peran penting di masjid Al Barkah. Keduanya mendapat tempat dalam kapasitas sebagai dewan khatib, bergantian dengan Ti'ih dan Najeh dari kelompok Ahlussunnah atau Kaum Tua.

Secara geneologis dan ideologis, M. Ma'ruf punya hubungan kuat dengan Al Barkah sebab dia adalah cucu Isnaen. Maka, saat di belakang hari jamaah Muhammadiyah harus hengkang dari Al Barkah, M. Ma'ruf merasakan kegundahan meskipun perasaan itu ditepisnya demi menjaga hubungan baik antar keluarga, terutama keluarga dari jamaah Al Barkah yang tidak berafiliasi pada Muhammadiyah namun masih tersambung nasabnya dengan Isnaen.

Dipaksa Keluar

Pada mulanya, Al Barkah menjadi rumah yang menaungi jamaah Kaum Tua dan jamaah Muhammadiyah. Waktu itu, Ahlussunnah atau Kaum Tua merupakan idiom yang lazim digunakan sebagai pengakuan yang bertendensi "rivalitas" pada Muhammadiyah. Adapun Muhammadiyah dijuluki mereka sebagai "Wahabi".

Selama beberapa waktu, kedua kelompok ini tetap berada dalam satu barisan. Shalat Jumat masih satu imam, satu khatib. Namun, separuhnya melaksanakan qobliyah Jumat, separuhnya tetap duduk tenang. Inilah salah satu pangkal, persoalan furu' dan khilafiyah yang menjadi tembok pemisah kedua kubu sampai nanti perbedaan itu tidak bisa lagi dikompromikan.

Hingga sampailah waktu di mana jamaah Muhammadiyah dipaksa meninggalkan Al Barkah di malam Ramadhan, dipersilakan pergi dari masjid yang mereka bangun. Jamaah Muhammadiyah terhenyak. Ini seperti mimpi di siang bolong.

Jamaah Muhammadiyah mengalah. Mereka melangkah pergi tanpa melakukan tindakan perlawanan, baik perlawanan dengan negosiasi ataupun perlawanan fisik. Bukan karena tidak punya nyali untuk mempertahankan harga diri perjuangan, melainkan lebih pada menjaga adab pada masjid sebagai rumah Allah dan persaudaraan senasab dan sesama muslim yang harus dijunjung tinggi.

Visioner

Jamaah Muhammadiyah waktu itu berpikir jernih. Daripada mempersoalkan siapa yang paling berhak atas Al Barkah yang pasti menimbulkan perselisihan yang semakin menajam dan meruncing, lebih baik menghimpun tenaga dan pikiran untuk membangun ladang dakwah baru. Secara ideologis ini lebih maslahat, dan secara organisatoris lebih memberikan keleluasaan dalam mengembangkan dakwah Muhammadiyah.

Maka, setelah akses beribadah di Al Barkah telah ditutup rapat, jamaah Muhammadiyah memutuskan berpindah ke musala milik wakaf keluarga Saenan, musala yang sekarang menjadi Masjid Al Hikmah. Letaknya di bibir situ Asih, di paling selatan Kampung Pulo.

Roboh

Langgar di bibir setu itu penuh sesak. Bangunan panggung dari papan dan bambu berukuran 4 x 6 m2 itu kebanjiran berkah jamaah di malam tarawih ketiga. Di langgar inilah sisa tarawih dihabiskan oleh anak keturunan Isnaen dan jamaah Muhammadiyah.

Hanya saja, jamaah yang membludak, langgar panggung itu tidak kuat menahan beban. Langgar itu n roboh. Esoknya, langgar diperbaiki, sekadar untuk jamaah Muhammadiyah tetap bisa menuntaskan shalat Tarawih sampai malam terakhir Ramadhan tahun itu.

Meskipun robohnya langgar itu menambah duka karena terusir dari masjid yang mereka bangun dengan susah payah, tidak membuat jamaah Muhammadiyah patah arang. Bahkan, musibah itu mendorong tokoh-tokoh Muhammadiyah semakin giat berjuang.

Dalam musyawarah setelah tiga hari Idul Fitri, mereka bersepakat urunan, mengumpulkan uang dari iuran, mengambil pekerjaan dari orang yang membutuhkan jasa mencangkul lalu upahnya diserahkan untuk infak melanjutkan perjuangan.

Tidak berselang lama, jamaah Muhammadiyah sanggup membebaskan sebidang tanah seharga Rp45.000. Muhammad Mansyur, Amit Disan, dan Namin adalah orang yang mengurus pembebasan tanah itu.

Resmi Berdiri

Muhammadiyah Ranting Rawadenok berdiri pada 1961. Saat itu, warga Muhammadiyah Kampung Pulo bergabung sebagai anggota di Ranting ini. Pimpinan Ranting saat itu dipegang oleh Zakaria sebagai Ketua, Muhammad Mansyur sebagai Wakil Ketua, Nawawi Napih sebagai Sekretaris, Jaelani sebagai Bendahara, dan Rahid sebagai Anggota.

Tanah yang dibeli seharga Rp45.000 tempo hari adalah tanah milik Naung. Di atas tanah ini dibangun musala keci dari papan, bambu, dan beratap rumbia. Disebutlah musala itu musala blandongan, musala resmi milik jamaah Muhammadiyah, eks jamaah Al Barkah.

Seterusnya, musala ini menjadi pusat kegiatan dakwah Muhammadiyah Ranting Pulo.  Pada 1965, pada malam Jum'at, jamaah Muhammadiyah menggelar pengajian di rumah Juroh, menantu Kemban. Penceramah didatangkan dari Jakarta; Kiai Abdul Halim, Pegawai Tinggi Departemen Agama Pusat.

Seusai pengajian, tokoh-tokoh kunci Muhammadiyah saat itu menyampaikan perkembangan Muhammadiyah, tantangan yang dihadapi, sampai peristiwa mereka terusir dari masjid Al-Barkah kepada Kiai Abdul Halim. Tokoh-tokoh Muhammadiyah juga menyampaikan sejak itu jamaah Muhammadiyah belum punya masjid untuk menggelar ibadah shalat Jumat.

Maka, atas nasihat, saran, dan pertimbangan Kiai Abdul Halim, dicapailah kesepakatan untuk diresmikan saja, sekaligus dilangsungkan shalat Jumat esok harinya. Maka, keesokan harinya, resmilah musala itu menjadi masjid. Kiai Abdul Halim bertindak sebagai khatib dan memimpin shalat Jum'at untuk kali pertama di musala yang sekarang berdiri megah Masjid Jami Al-Huda Ranting Muhammadiyah Pulo.

Belakangan kemudian, pada 1966, Ranting Muhammadiyah Pulo resmi berdiri sendiri, terpisah dari Muhammadiyah Ranting Rawadenok, bersamaan dengan resmi berdirinya ranting-ranting lain di sekitaran yang sekarang menjadi kawasan Cabang Muhammadiyah Depok Barat.

Bertumbuh

Masjid Jami Al Huda yang sekarang, merupakan transformasi ketiga sejak kali pertama didirikan. Masjid dua lantai menjadi pusat ibadah, pendidikan, dan dakwah Ranting Muhammadiyah Pulo.

Masjid Al Huda bertumbuh murni dibiayai dari wakaf warga persyarikatan dan donasi dari para dermawan yang menaruh kepercayaan kepada Muhammadiyah. Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo dan panitia pembangunan tidak pernah mengambil kebijakan memungut donasi di jalan untuk membiayai pembangunan sebagaimana lazimnya panitia pembangunan masjid di beberapa tempat. Dalam hal ini, Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo dan warga persyarikatan punya pandangan sendiri meskipun peluang mendapatkan dana sangat terbuka dengan cara menyorongkan jaring kepada setiap pengguna jalan.

Hari ini, Masjid Al Huda berusaha berbenah untuk menghadirkan layanan masjid yang tertib, sesuai sunnah, dan memenuhi kebutuhan jamaah.

________

*Sejarah berdiri Masjid Al Huda lebih rinci dapat dibaca pada buku Tarawih Terakhir. 2021. Jakarta: Pustaka MP. Ditulis oleh Abdul Mutaqin, Ketua Takmir Masjid Al Huda Muhammadiyah Ranting Pulo masa bakti 2024-2027.